MOJOKERTO - Abdulllah bin Abdul Wahab, dalam kitab al-tawhid menyatakan pandangannya, bahwa keseluruhan teologinya bermuara pada dua prinsip: Pertama, pentingnya tauhid, atau “keesaan”, yakni ketunggalan dan kesatuan Allah. Kedua, kesalahan syirik, gagasan bahwa seseorang atau sesuatu berbagi dalam keilahian Allah Swt, bahkan untuk tingkat terkecil.
Menurut nya, Hukum itu ada di dalam Al-Qur’an, Sedangkan Sunnah –kehidupan Nabi saw seperti diungkapkan melalui hadis– bertujuan menafsirkan hukum itu. Al-Qur’an tidak menetapkan prinsip-prinsip untuk membimbing telatah manusia, melainkan tindakan nyata yang harus dilakukan kaum muslim. Al-Qur’an bukan hanya menunjukkan bentuk tetapi isi dari kehidupan manusia. Kehidupan Muhammad memberikan suri teladan untuk diikuti setiap muslim.
Tujuan kehidupan sosial dan politik adalah membangun masyarakat di mana hukum itu dapat ditegakkan. Semua yang menghambat tugas besar membangun masyarakat ideal itu ialah musuh Islam. Kewajiban seorang muslim mencakup partisipasi dalam jihad, perjuangan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam. Jihad sejajar dengan sembahyang, puasa, zakat, haji, dan mengakui bahwa keesaan Allah sebagai suatu kewajiban agama.
Dalam doktrin Wahab, orang-orang yang tidak percaya pada Islam, tentu saja, adalah musuh potensial tetapi bukan yang paling krusial. Jikalau mereka setuju untuk hidup damai di bawah pemerintahan Islam, mereka bisa ditoleransi. Bahkan Musuh yang paling perlu diperhatikan adalah orang munafik, murtad, khianat, dan pembidah.Dalam perjalanan Sejarah, - banyak kritik laqab Wahaby sebagai nama golongan ini , direspon dengan penggantian laqab golongan ini menjadi Salafy.Ini dilakukan sebagai re-branding dari gerakan yang dalam sejarahnya di penuhi dengan darah dan kekejaman. Laqab Salafy di anggap lebih menunujukkan identitas gerakan yakni usaha memurnikan islam sebagaimana generasi awal; Nabi, Sahabat dan Tabiin sebagai golongan salaf al-shalih.
Permasalahan nya, Re-branding ini tidak di ikuti dengan perubahan ushlub / manhaj gerakan. Dasar utama Salafy tetap bersandar pada pemikiran-pemikiran Abdul Wahab, di tambah pemikiran Abdullah Bin Baz, Abdurrahman Abdul Kholiq, Syaikh utsaimin dan albani.
Identitas utama mereka sebagai suatu faham –Wahaby atau Salafy - adalah kontunitas permusuhan mereka dengan bid’ah hasanah, memerangi praktik-praktik kaum muslimin yang dianggap bidah dholalah oleh mereka; dan permusuhannya terhadap keyakinan akidah kaum Asya’riyah yang dianggap batil. Walaupun cara dan aksentuasi sesama mereka atas hal itu yang berbeda-beda, satu sama lain.
Baca juga:
Gus Yahya dan Harapan Masa Depan NU
|
Gerakan mereka yang lebih menyasar pada kalangan muslim perkotaan, kalangan terpelajar dengan lintas ilmu yang berbeda membuat gerakan mereka tidak bisa dianggap kaleng-kaleng. Sinergitas kuat antar simpul golongan mereka dalam membangun kolaborasi gerakan terasa sangat nyata. Kuantitas golongan ini memang belum signifikan, tetapi membaca kekuatan gerakan pada masa sekarang tidaklah ekuivalen dengan kuantitas golongan, tapi lebih ekuivalen dengan penguasaan ekonomi, teknologi (termasuk digital), birokrasi, pendirian rumah sakit, dan pendirian sekolah-sekolah muslim berlabel kualitas dan terpadu, dan hal-hal sejenis.
Pilihan strategis gerakaan golongan ini, antara lain: Pendidikan dengan mendirikan lembaga, melakukan upgrading, dan membranding nya menjadi lembaga pendidikan yang komprehensip; mendirikan rumah sakit dan klinik; membangun jaringan UKM; penguasaan atas tempat ibadah; dan keterlibatan mereka dalam wilayah pengambilan kebijakan terkait gerakan utama mereka, adalah pilihan progresif yang memiliki masa depan untuk membangun kebesaran golongan ini di masa yang akan datang.
Baca juga:
Pledoi Pawang Hujan Mandalika
|
Dari wujud gerakan yang progresif ini, sangat tampak bahwa golongan Salafi ini memiliki pimpinan yang bisa memimpin, bukan hanya memiliki ketua organsiasi. Sehingga mereka bisa melakukan gerakan secara terukur, terstruktur dan massif. Hal ini membuat golongan selain mereka terkejut, terpukau dan hanya tertegun melihat penetrasi syiar yang dilakukan mereka. Kontra strategi yang di lakukan oleh golongan lain adalah gerakan kultural, defensive dan direct strategy. Pilihan kontra strategi ini sangat tidak produktif. Karna bisa kita prediksi, akhir dari kontra strategi yang di lakukan.
Oleh karena itu, golongan lain yang resah dengan progresifitas gerakan wahaby harus melakukan modernisasi strategi gerakan, menawarkan jalan keluar dalam pendidikan, kesehatan, perekonomian , keluarga berdaya dan sejenisnya, menyiapkan road map gerakan panjang dan menyiapkan pemimpin gerakan untuk menjaga kesinambungan gerakan. Hal ini akan menjadi kontra strategi yang produktif, yang bisa kita harapkan tingkat keberhasilannya. Daripada hanya berharap pada gerakan spontanitas yang pasti akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Dengan demikian , masyarakat akan memiliki alternatif model yang menjadi pilihan terbaik bagi mereka.
ZAMRONI UMAR, Khadim Langgar Ledok, Mojokerto